Budaya dalam ranah individual
Budaya terbagi atas ranah sosial dan
ranah individual. Pada ranah sosial dikarenakan budaya lahir ketika manusia
bertemu dengan manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih baik
sekedar pertemuan-pertemuan incidental. Sedangkan dalam ranah individual karena
budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan
bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan
saling memberi pengaruh. Individu membawa budayanya pada setiap tempat dan
situasi di kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari
individu lain yang saling berinteraksi dan selanjutnya dibawa pulang pada budaya
aslinya, dan mengembangkan budaya tersebut.
Kepribadian dalam lintas budaya.
Budaya, kepribadian, dan konsep diri
saling mempengaruhi satu sama lain sekaligus dan dengan tujuan akhir bekerja
integrative membentuk individu yang utuh. Kepribadian mempengaruhi dan menjadi
rangka acuan dari pola pikir, perasaan, dan perilaku individu serta bertindak
sebagai aspek fundamental dari setiap individu tersebut.
Definisi kepribadian
Hal pertama yang menjadi perhatian
dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara beragam
budaya dalam memberi definisi kepribadian. Kepribadian adalah serangkaian
karakteristik pemikiran, perasaan, dan perilaku yang berbeda antara tiap
individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam
definisi ini yaitu: kekhususan (distinctiveness) dan stabilitas serta
konsistensi (stability and consistency) (Phares, 1991).
Dalam psikoanalisa Freudian
tahapan-tahapan perkembangan kepribadian mulai dari oral hingga dewasa. Begitu
masa kanak-kanak terlewati dan kepribadian telah terbentuk maka kepribadian
adalah cenderung dalam garis konsisten di setiap waktu dan kondisi.
Dalam behavioristik bahwa
kepribadian adalah kumpulan respon-respon kebiasaan. Dalam teori ini
kepribadaian dipandang cenderung menetap sekalipun ada rentang toleransi respon
dalam menyesuaikan stimulus dan reinforcement (reward and punishment) yang
mungkin timbul.
Dalam teori Humanistik bahwa
kepribadian diarahkan oleh pemenuhan level-level kebutuhan dengan puncaknya
adalah keberhasikan dalam aktualisasi diri.
Pada budaya timur (East Cultures)
kepribadian adalah Konstektual (constextualization), bersifat lentur yang
menyesuaikan dengan budaya dimana individu pemilik tersebut mengisi hidupnya.
Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda oleh karenanya untuk dapat bertahan
individu harus menyesuaikan dengan budaya setempat termasuk kemungkinan merubah
kepribadiannya.
Kandungan teori kepribadian
Fenomena kedua yang menunjukkan
hubungan antara budaya dengan kepribadian adalah masalah antesedent, atau latar
belakang kondisi sosial budaya dimana suatu teori dibangun, yang mempengaruhi
bagaimana isi dan suatu teori dibangun. Kondisi sosial selalu terus berubah
sebagaimana budaya yang dinamis saling berasimilasi dan berakulturasi.
Metodelogi dan cara pengukuran
Bagaimana metodelogi dan cara
mengukur suatu kepribadian dalam konteks lintas budaya?
- Metodelogi: banyak sekali kesulitan dan bias yang
timbul ketika dilakukan studi-studi dalam ranah psikologi lintas budaya.
Misalnya persoalan bahasa, penggunaan Multilingual (peneliti dan subjek
penelitian memiliki bahasa yang berbeda) sehinggan member respon yang
berbeda terhadap pertanyaan dalam tes kepribadian.
- Cara pengukuran: banyak alat-alat tes kepribadian dikembangkan
oleh peneliti dari Amerika-Eropa. Sehingga sangat mungkin stimulus maupun
standar norma dan interpretasi alat psikotes kurang mampu diterapkan dalam
pengukuram kepribadian individu dari budaya non-western.
Locus of control
Hal yang paling menarik dalam kajian
antara kepribadian dengan konteks lintas budaya adalah masalah locus of
control. Menurut Rotter (1966) bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan
seberapa besar control diri mereka terhaadap perilaku dan hubungan mereka
dengan orang lain serta lingkungan.
Berdasarkan arahnya lokus kontrol
kepribadian dibedakan menjadi dua yaitu:
- Internal, melihat independency yang besar dalam
kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sediri.
- Eksternal, melihat diri mereka sangat ditentukan oleh
bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka.
Lokus control seringkali dihubungkan
dengan karakter-karakter kepribadian. Literature Amerika menjelaskan bahwa
pribadi-pribadi dengan lokus kontrol eksternal tampak lebih sering mengeluh
namun lebih mudah berkompromi ketika menghadapi konflik.
Budaya dan Perkembangan Kepribadian
Kepribadian manusia selalu berubah
sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih jelas dan matang.
Perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan dengan fungsi-fungsi
bawaan sebagai dasarnya.
Stern (dalam Saffet, 1985)
menyebutkan sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa ban karet). Predisposisi
seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetic menentukan
sampai dimana ban karet tadi dapat ditarik dan faktor lingkungan menentukan
sampai seberapa panjang ban karet tadi akan ditarik atau direntang. Dari
hipotesa diatas dapat ditarik bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan
kepribadian seseorang.
Gutman (1976, dalam Price, 2002)
yang menyatakan bahwa sesungguhnya ada sebuah keurutan (sequence) yang
universal dalam perkembangan kepribadian manusia. Ada tiga tahapan yang dialami
lelaki Amerika dalam arah kedewasaanya yaitu dalam setiap tahap, individu
melihat diri mereka dan dunia merekan dengan cara dan pandangan yang berbeda,
memiliki dorongan-dorongan (drives) yang setiap tahapnya juga berbeda, dan
begitu pula dengan gaya pertahanan dirinya.
Ditarik kesimpulan bahwa semakin
seseorang bertambah tua, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan
kebutuhan otonomi semakin turun, dan lokus kontrol dirinya semakin mengarah ke
luar (eksternal).
Budaya dan Indigenous Personalites
Yaitu suatu kajian kepribadian yang
bersifat lokal. Di Indonesia kajian mengenai indigenous personality diawali
oleh Darmanto Jatman (1997). Dalam bukunya Psikologi Jawa, Jatman menemukan
adanya profil kepribadian manusia jawa yang memandang jiwanya adalah sebagai
rasa. Rasa ini terbagi menjadi tiga, yaitu rasa subjek, rasa objek, dan rasa
pertemuan subjek-objek. Ketiganya disebut rasa hidup. Kemudian dalam proses
perjalanannya, manusia jawa membuat catatan-catatan dari pengalamannya bertemu
dengan kenyataan-kenyataan. Catatan ini hidup, makin banyak, makin beragam,
mengelompokkan diri sesuai jenis-jenisnya dan pada akhirnya memunculkan rasa
aku. Disini tampak bahwa kepribadian bersifat konstektual tanpa henti.
Konsep barat tentang diri dan sifat
kepribadian selalu merujuk pada diri yang terpisah, otonom, dan atomis
(terbentuk dari seperangkat sifat, kemampuan, nilai dan motif yang dapat saling
dipilah) dengan mencari keunika yang menunjukkan artu keterpisahan dan
ketaktergantungan dengan orang lain.
Konsep budaya timur, kebertalian
(relatedness), kesalingterhubungan (connectedness), dan saling ketergantungan
(interdependency) merupakan landasan konsep diri yang tak terpisah dan selalu
terkait dengan orang lain dan lingkungan luar.
Budaya dan Konsep Diri
Definisi konsep diri
- Konsep diri adalah organisasi dari persepsi-persepsi diri
(Burns, 1979). Organisasi dari bagaimana kita mengenal, dan menilai diri
kita sendiri.
- Suatu deskripsi mengenai siapa kita, mulai dari
identitas fisik, sifat, hinggan prinsip.
- Konsep diri adalah inti dari keberadaan (existence) dan
secara naluriah tanpa disadari mempengaruhi setiap pikiran, perasaan dan
perilaku individu tersebut.
Dua kontinum yang sering dilakukan
untuk mempermudah studi mengenai konsep diri dalam lintas budaya adalah
konstruk diri individual dan diri kolektif atau (independent construal of self
dan interdependent construal of self).
- Diri Individual
Diri individual adalah diri yang
fokus pada atribut internal yang sifatnya personal, kemampuan individual,
inteligensi, sifat kepribadian, dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah
terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya dengan diri individu
mendesain dan mengadakan seleksi untuk mendorong ketidak tergantungnya setianp
anggota dengan anggota yang lain. Mereka didorong untuk membangun konsep akan
diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan
keberhasilan. Disini nilai kesuksesan dan perasaan akan harga diri membentuk
khas individualism. Ketika individu sukses untuk melaksanakan tugas budaya,
tidak tergantung pada orang lain, maka mereka lebih puas akan diri mereka dan
harga diri merekan meningkat, hal iini dikarenakan berkat usaha keras dari
individu tersebut karena mampu mampu menggapainya tanpa bantuan orang lain.
- Diri kolektif
Budaya yang menekankan nilai diri
kolektif sangat khas dengan ciri perasaan akan keterkaitan antar manusia satu
sama lain. Tugas normatif utama pada budaya ini adalah bagaimana
individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain. Individu
diminta menyesuaikan dirinya dengan orang lain atau kelompok untuk mempu
membaca dan memahami pikiran perasaan orang lain, bersimpati untuk menempati
dan memainkan peran yang telah diberikan. Tugas normatif sepanjang sejarah
budaya adalah mendorong saling ketergantungan satu sama lain, sehingga diri
(self) lebih fokus pada atribut eksternal termasuk kebutuhan dan
harapan-harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif, nilai
keberhasilan dan harga diri apabila individu mampu memenuhi kebutuhan komunitas
dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan komunitas. Individu fokus pada
status keterikatan dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya.
Pengaruh terhadap persepsi diri
Studi yang dilakukan oleh Bond &
Tak-Sing (1983) dan Shweder dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan
konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Dalam studinya yang membandingkan
kelompok Amerika dengan kelompok Asia, mereka meminta subjek menuliskan
beberapa karakteristik yang menggambarkan dirinya. Pada umumnya subjek
memberikan beberapa respon, yaitu dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu: respon
abstrak atau deskripsi sifat-kepribadian semacam (saya seorang yang
mudah bersosialisasi, pemarah, dll) dan respon situasional
semacam (saya biasanya mudah bersosialisasi dengan teman-teman dekat saya,
ramah, dsb). Hasil studi menunjukkan bahwa subjek Amerika cenderung memberikan
respon abstrak, sedangkan subjek Asia cenderung respon situasional. Selanjutnya
dianalisis bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent cenderung
menekankan pada atribut personal, kemampuan ataupun sifat kepribadian,
sebaliknya individu dengan konstruk diri interdependent lebih cenderung melihat
dirinya dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain
(Matsumoto, 1996).
Pengaruh pada social explanation
Konsep diri juga mejadi semacam pola
paduan bagi kognitif (cognitive template) dalam melakukan interpretasi
terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual (Independent
self) yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut
internal yang relatif stabil semacam: sifat kepribadian, sikap,dan kemampuan,
akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Ketika mereka melakukan
pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka berkeyakinan
dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut juga didasari dan
didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
Kesalahan dalam pengambilan
kesimpulan mengenai perilaku orang lain (atribusi) yang didasari asumsi atribut
internal ini disebut fundamental atribution error (Ross dalam Matsumoto, 1996).
Fundamental atribution error ini ditemukan tidak terjadi pada individu-individu
dengan latar budaya konsep diri kolektif (interdependent culture). Budaya diri
kolektif memandang perilaku individu adalah tergantung dan ditentukan oleh
faktor situasional. Individu dari budaya diri kolektif ini cenderung
menjelaskan perilaku orang lain dalam kerangka faktor situasional dari pada
faktor internal. Pada tahun 1984, Miller menguji pola social explanation pada
kominas budaya Amerika dan budaya India Hindu.
Pengaruh pada motivasi berprestasi
Menurut Feldman, 1999, motivasi
adalah faktor yang membangkitkan (direct) dan menyediakan (energize) tenaga
bagi perilaku manusia dan organisme lainnya. Dalam teori Motivasi Maslow,
manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis
hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara menurut
Mc-Clelland manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh tenaga
yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu: berprestasi, berafilasi atau
menjalin hubunagn, dan berkuasa. Menurut Mc-Clelland motivasi berprestasi
adalah sebuah keteguhan, karakter belajar dimana terdapat kepuasan yang
diperoleh melalui perjuangan dan penggapaian suatu keunggulan, dalam arti lain
suatu hasrat untuk keunggulan atau kecenderungan untuk memperjuangkan
kesuksesan.
Dalam tradisi barat, konsep diri
bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal dan
internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal.
Motivasi ini dicirikan adanya kecenderungan untuk memaksa menekan diri sendiri
dan secara aktif berjuang menggapai suatu kesuksesan yang individual sifatnya.
Menurut Matsumoto, 1996, yang membedakan dua bentuk dari motivasi berprestasi
yang berorientasi individual dan yang berorientasi sosial. Motivasi berprestasi
yang berorientasi individual umumnya ditemukan pada masyarakat budaya sebagian
Eropa dan Amerika. Di masyarakat China, sebaliknya motivasi berprestasi dengan
orientasi sosial ditemukan lebih umum dibandingkan yang berorientasi
individual.
Pengaruh pada Peningkatan Diri (Self
Enhancement)
Pandangan positif mengenai diri akan
membangkitkan keyakinan diri, kepercayaan diri, dan motivasi diri untuk lebih
bersosialisasi dan mencapai prestasi yang lebih tinggi. Memelihara atau
meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada
budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang
datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin
tidak terkait dengan harga diri atau kepuasan diri. Sebaliknya, harga diri atau
kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan memainkan peranan
dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan dan saling membantu. Bagi
orang-orang dari interdependent culture, melihat diri sebagai
unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan psikologis diri.
Pengaruh pada Emosi
Emosi dapat diklasifikasikan atas
arah hubungan sosial dari emosi, yaitu apakah emosi tersebut akan mengarahkan
pada pemisahan diri dengan lingkungan yang selanjutnya disebut socially
disengaged emotions dan emosi yang akan mengarahkan pada keterhubungan
dengan orang lain dan lingkungan luarnya atau dikenal sebagai sociallly
engaged emotions. Beberapa emosi negatif semacam marah atau frustasi
dimasukkan dalam socially disengaged emotions. Emosi-emosi iini
cenderung mendorong terjadinya pemisahan, penarikan diri, ataupun penolakan
hubungan sosial sekaligus secara simultan meningkatkan rasa penerimaan diri
untuk mandiri dan lepas dari ketergantungan dengan orang lain.
- Beberapa emosi positif semacam rasa bersahabat atau
rasa menghargai dan dihargai berjalan pada arah sebaliknya dan dimasukkan
dalam sociallly engaged emotions. Emosi ini dialami
sebagai hasil dan menjadi bagian dari suatu hubungan dekat atau rasa
ikatan komunitas. Emosi ini sekaligus memberi energi untuk membangun
hubungan yang sudah dekat menjadi lebih dekat.
Beberapa tipe dari emosi yang
negatif, semacam rasa bersalah ataupun rasa hutang budi juga dimasukkan dalam
tipe ini. Emosi ini biasanya merupakan hasil dari pengalaman kegagalan atau
melakukan kesalahan dalam suatu hubungan. Individu yang mengalami emosi ini
akan terdorog untuk melakukan harmonisasi yaiu memperbaiki kesalahan ataupun
membalas budi.
Referensi :
https://faruqngabar.wordpress.com/2011/06/28/budaya-dan-kepribadian-manusia